Sumatra Cyber ~ Kisah nyata ini terjadi di China. Bacalah kisah ini semoga kita dapat memetik dari pelajaran ini.
Ayah kandungku meninggal dunia, ketika aku berumur dua tahun. Ia meninggalkan aku, ibuku, dan adikku yang baru berusia 6 bulan.
Kami hidup di desa terpencil. Belum ada listrik di desa kami, hanya orang mampulah yang sudah mengenyam listrik di sini, berbeda dengan keluargaku. Ayahku hanya petani desa dan ibuku hanya membantu panen ayahku jika musim panen tiba. Tapi, setelah ayahku meninggal tak ada lagi yang bisa kami gantungkan.
Singkat cerita, setelah 2 tahun ibukku menjanda dan mengurus aku dan adikku sendirian. Ada seorang lelaki tinggi kekar berbadan tegap dengan membawa sebuah alat penghisap rokok kuno datang dan ku tahu ia bermaksud menyunting ibukku dan hendak menikahinya. Lelaki asing ini sama sekali belum pernah aku liat sebelumnya.
Keesokan harinya, rumahku ramai sekali, aku tidak mengetahui jika itu adalah pesta pernikahan. Semua orang berkumpul, ibuku dan lelaki itu tampak cantik dan tampan sekali.Aku hanya tersenyum dan menyandangkan bahuku kepada Paman yang duduk di depan teras.
Ia berkata, sekarang lelaki itu ayah barumu. Sontak aku terkaget dan bangun dari dada paman, aku tak mengerti arti perkataan paman itu dan paman hanya tersenyum pahit melihatku.
Lelaki itu menikahi ibuku, dan lantas menjadi ayah tiriku. Ia bertanggung jawab pada penghidupan kami. Dia bekerja seperti halnya ayah kandungku, hanya seorang petani padi yang untung pada bulan panen saja. Hubungan kami dingin, tak layak seperti seorang ayah dan anaknya. Aku tahu ia tak seperti ayah tiri seperti yang ada di dongeng, bahkan ia sangat menyayangiku.
Suatu hari, aku pulang sekolah dengan sangat lelah. Sekolahku berjarak dua kilometer dari rumah dan harus berjalan kaki. Sesampainya aku dirumah, aku memanggil ibu dan tak ada jawaban. Aku mulai panic dan kulihat ibukku menangis meraung-raung di depan jemuran pakaian dan meremas-remas perutnya. Aku semakin panic, sakit maagh ibuku kambuh. Di rumah hanya adikku, ia sedang menggoreng tempe untuk makan siang kami sedangkan ayah tiri sedang berada di sawah.Aku menyuruh adikku menyusul si ayah tiri, sesaat kemudian ia dan adikku datang dengan tergesa-gesa. Dengan kaki berlumuran tanah dan bahkan tanpa alas kaki, ia berlari ke kamar dan langsung menggendong ibuku dan membawanya ke tempat mantri. Aku dan adikku menunggu ibu di rumah dengan cemas, aku berpikir mengapa ayah tiri begitu perhatian dengan ibu. Apa mungkin hanya ibu saja ia begitu ?
Tak lama kemudian ibu dan ayah tiri pulang, ibu tersenyum dan menyuruhku mengambil penghisap rokok ayah tiri di sawah yang tertinggal. Aku hanya menuruti saja, karna hari memang sudah mulai malam. Tanpa hirau ku ambil sandal jepit lusuhku dari sisi kayu-kayu bakar dan mulai berjalan. Belum genap aku berjalan jauh, ada lelaki yang memanggilku dari kejauhan. Ternyata ayah tiri berdiri dan mulai mendekatiku.
“mau apa kamu ? sudah biar saya yang ambil” ia berkata sembari menepuk pundakku. Aku hanya mengangguk dan berputar arah dan kembali ke rumah. Dalam hatiku baik sekali ia, ia sudah terlalu lelah di sawah lalu sempat mengurus ibu dan sekarang berniat mengambil penghisap rokok kesayangannya di sawah.
Dari dulu sampai sekarang aku memang benci dengan asap rokok. Sampai pada suatu hari aku berniat untuk menyembunyikan penghisap rokok milik ayah tiri dan berniat tak akan mengembalikannya. Setelah itu, ayah tiri tampak tak bergairah dan gelisah beberapa hari ini. Akhirnya setelah beberapa hari itu aku mengaku dan mengacungkan penghisap rokok itu pada ayah tiri, dan tiba-tiba ia menampar pipi kiriku hingga membekas, ia juga tampak sangat marah dan terlihat wajah kesal serta kecewa darinya.
Aku menangis dan berlari pada ibu, ibu memelukku dan berkata penghisap rokok itu nyawa ayahmu lain kali yang sopan. Aku tak mengerti apa yang baru saja ibu katakan.
Ayah tiri langsung pergi dan menyalakan api pada penghisap itu dan duduk di depan teras. Aku menghampiri nya dan mengintip lewat kaca saja apa yang ia lakukan.
Ku perhatikan ia dengan seksama, lewat kepulan-kepulan asap yang kubenci itu berlinanglah air mata pada pipinya. Aku tak tau, mengapa ia menangis seperti itu. Sekilas aku melamun, tanpa kusadari adikku sudah berada di sampingku dan menyodorkan buku tulis lusuh serta pensil sebesar kelingking padaku. Ia menyenggolku,sontak aku terkejut dan jatuh terduduk di lantai pasir rumahku.
“kak nomer ini bagaimana?” Tanya adikku dengan menunjuk soal nomer 3 yang ada di buku tulisnya.
Ku rebut buku itu dan menyuruhnya masuk kekamar, aku akan menyusulnya.
Tatapan ayah tiri begitu bermakna, ia menatap awan senja dengan sesekali menghisap dan menyemburkan asap itu. Tatapan misteri, seorang ayah tiri yang hebat dan perkasa. Terkadang tatapan itu berubah seperti tatapan penuh dosa dan derita, derita panasnya matahari saat di sawah, derita hutang yang ia tanggung untuk keluarga yang ia naungi. Sekilas ia juga mengusap pipi lusuhnya dan menyeka keringat yang ada di dahinya yang berkerut.
Kerutan-kerutan tragis yang seolah menggambarkan beberapa kebutuhan pokok yang belum terpenuhi keluarga dan harus ia penuhi. Sebagian peluh itu terjatuh membasahi kausnya, kaus lusuh berwarna putih kesayangannya yang sudah tak berbentuk. Banyak sekali yang sobek dan kumuh.
Rasanya berat sekali beban yang di timpanya. Tetapi ia tetap tegar, tegap, dan kokoh layaknya ayah kandungku.
Baru kusadari, selama hampir 12 tahun ibu menikah dengannya aku belum pernah sekalipun memanggilnya ayah, aku hanya memanggil eh atau woi padanya.
***
Besok ada hari kelulusanku dan sudah waktunya aku untuk melanjutkan kuliah di kota. Tapi aku menyadari ekonomi keluarga kami pasti tak menyukupinya. Setelah aku mengikuti test di salah satu universitas di kota.
“aku yakin bisa bu, aku yakin aku bisa.” Kataku pada ibu.
“kami tak kan bisa membayarnya nak, kuliah itu mahal.” Jawab ibu polos.
Aku hanya menunduk dan merasakan tepukan tangan ayah tiri pada pundakku, ia hanya menggumam dan kembali menghisap rokoknya. Aku memang sedih, mendengar perkataan ibu saja aku sudah pesimis, aku sadar aku tak punya.
Keesokan harinya ayah tiri berteriak dan melompat-lompat kegirangan, buk anakku diterima. Aku, ibu, dan adik lantas menghampirinya. Ia memberikan surat pemberitahuan itu pada ibu dan ibu hanya mencoba untuk membacanya walaupun ia tak satupun mengenali huruf yang ada didalamnya bahkan kertasnya pun terbalik. Ku lihat senyum gembira, pada ayah tiri. Dan ia tampak bersemangat sekali hari ini, bahkan aku di tawarinya singkong bakar sore ini.
Tak seperti biasa. Aku masuk kamar dan sekilas otakku mengulang kejadian tadi pagi dan “anakku” kenapa ia memanggilku “anakku” sudah jelas aku adalah anak dari ayah kandungku yang sudah meninggal. Aku melamun jauh hingga menggumam.
“anakku ? anakku ? anakku ?” gumamku.
Tak terasa ibu sudah duduk dikasur, dan berkata tentulah kamu anaknya nak. Bahkan ia sangat ingin dipanggilmu ayah. Dia setiap malam berdo’a agar kau memanggilnya ayah, dia sangat menyayangimu. Ia sering berkata pada ibu, kapan kau bisa memanggilnya ayah, ia sangat ingin menggantikan ayah menjadi ayahmu selamanya.
Aku menangis dan hanya diam, ibu keluar kamarku dan menutup kelambu kumuh sebagai pemisah tiap ruang rumah. Ayah tiri ingin sekali ku panggil ayah? perasaanku bimbang.
Lusa adalah hari pertama aku kuliah dan kami belum membayar uang kuliahnya. Kalau sampai lusa belum membayar, aku akan di keluarkan dari tempat perkuliahan itu. Tabungan ayah tiri dan ibu pun terkumpul sebesar Rp. 2.300.000 padahal uang kuliahnya sebesar Rp. 3.000.000. uang dari mana kami bisa mendapatkannya ? ayah tiri memperhatikanku sedari kita makan, ia melihat mataku yang sedih, aku mulai kesal dan membuang piring makanku, langsung keluar rumah dan duduk di pos ronda depan rumah. Ayah tiri membuntutiku.
“sudah gede, masih cengeng.” Kata ayah tiri dan duduk di teras rumah. Tanpa raut muka yang tenang dan penuh kedamaian, ia menghisap kembali rokoknya itu dan sesekali memonyongkan bibirnya untuk menyemburkan asap. Aku sempat kesal melihatnya. Tapi itulah dia, tatapan penuh misterinya kembali datang. Tak ada satupun orang yang mengetahui apa isi hatinya, yang pasti sedang gelisah sedih bagaimana ia mendapatkan kekurangan uang kuliahku.
Hari ini aku bangun terlalu siang. Melihat seisi rumah kosong, entah kemana anggota keluargaku yang lain pergi. Jam dinding tua peninggalan kakek, sudah menunjukan pukul 11 siang. Hari sudah mendung, berbeda sekali hari ini. Tiba-tiba hujan datang, aku sontak mengambil ember untuk menopang air hujan yang bocor agar lantai tidak becek. Lalu ibu datang bersama ibuku, ia berkata.
“siang sekali kau bangunnya, ayahmu sudah pergi dari tadi pagi sekali kekota untuk meminjam uang dipemda katanya.” Kata ibu sembari membawa sebuah bakul berisi singkong untuk menu makan malam kami nanti.
Sore harinya, ayah pulang dengan senyuman semangat andalannya. Bajunya basah dan terlihat kusam. Mungkin karena basah dan sudah mulai kering lagi. Senyumannya membuatku lega, entah apa dan bagaimana ia dapatkan uang itu. Tapi yang penting ia telah kembali. Aku mengkhawatirkannya. Ibu menuangkan air hangat di ember kecil dan memasukan kaki ayah tiri di sana, pemandangan berubah seketika. Kaki itu penuh dengan luka, membengkak, dan menganga. Aku tahu ia harus berjalan kaki lebih dari 40 kilometer pulang pergi ke kota. Pemandangan ini menyedihkan.
Ku sadar, kini, ia tak lagi lelaki gagah berbadan tegap dan kuat. Ia berubah menjadi lelaki kurus, tua, dengan tangan dan kaki dipenuhi urat yang menonjol berwarna hijau.
Kerutan dahinya semakin banyak. Menyedihkan sekali.
***
Hari ini hari kuliah pertamaku, ayah tiri mengantarku ke tempat pemberentian bis dikota dengan sepeda. Ia menggoyah sepeda itu dengan susah payah, sedangkan aku hanya duduk diam dibelakangnya. Apalagi jalan desa kami naik turun, ayah tiri yang sudah tua ini sesekali menyeka peluhnya yang membasahi dahinya. Terlalu lelah ia mengantarku. Terkadang ia memanggil namaku dan diam. Dalam perjalan itu ia hanya memanggilku, seperti ada yang ingin ia katakan tapi tak bisa. Aku juga sama, aku ingin sekali memulai pembicaraan dan memanggilnya ayah tapi selalu gagal.
Ketika sampai di tempat pemberentian bus, ia terlihat pucat pasi dan berkeringat banyak sekali. Aku menyuruhnya duduk tapi dia tak mau dan memilih memayungiku dengan daun pisang, karena hari itu memang sangat panas. Setelah bus menuju kota tiba, aku memasuki bus itu dengan penuh harapan. Aku menduduki jok kursi disebelah kiri hingga aku bisa melihat ayah tiri dari jendela. Tatapannya penuh dengan harapan, aku tak tega melihatnya, ia memandangi bus ini hingga jauh, terlihat dari kejauhan ia melambaikan tangannya pada bus ini. Dan mulai memutar balik sepedanya. Ia berjalan tertatih-tatih tanpa alas kaki.
Ibu bilang, setiap kali aku harus membayar kuliah. Ayah selalu pergi ke kota untuk meminjam uang temannya. Hari ini aku libur kuliah, karna akan masuk semester akhir, semua orang berkumpul di rumah. Ayah tiri tampak senang sekali aku bisa pulang dengan selamat. Aku bercerita pada adikku, kehidupan di kota benar-benar berbeda, teman-temanku saja sudah membawa ponsel, laptop, hingga iPod, sedangkan aku radio pun tak punya. Sontak ayah tiri berdiri dan meninggalkan ruangan itu, ia menangis di kamar. Semua orang tak menghiraukannya, aku mendengar ia berkata, aku tak bisa memberinya yang pantas maafkan aku. Ya tuhan, ia kecewa dengan perkataanku tadi.Ia menangisiku, ayah tiri bersedih. Lalu, ia keluar kamar dan menyulut rokoknya. Matanya masih merah, berair, mukanya pucat, tubuhnya kurus sekali.
Ibu berkata, kapan kau akan memanggilnya ayah. Ia sangat menunggumu memanggilnya ayah. Aku hanya diam dan menunduk.
***
Hari ini adalah hari wisudaku, nilaiku tertinggi. Tapi taka da satupun keluargaku yang datang, aku berjanji pada diriku sendiri setelah ini aku pulang dan memanggilnya ayah.
Ketika sampai dirumah ibu memelukku, ibu berkata, ayah sudah dua hari yang lalu meninggal !!
Aku menangis meraung-raung, aku ingin sekali mewujudkan do’anya dengan memanggilnya ayah.
Ibu menyuruhku duduk dan ia mengambil kaleng kotak kuno dan menyuruhku membukanya. Ia berkata, bahwa itu berkas-berkas hutang dan mungkin menyuruhku untuk membayar hutang-hutang itu. Ku buka perlahan, memang benar ada 13 lembar kertas berisi…. ya tuhan berkas penjualan darah ? Ternyata selama ini ayah tiriku pergi jauh untuk menjual darahnya demi biaya kuliahku. Ibu tak mengetahuinya karna ia tak dapat membaca. Aku menangis, kaleng itu jatuh dari genggamanku. Aku berteriak, ayah…..ayah….. . kesedihan ini mendalam, sakit sekali. Aku rindu ayahku bukan ayah tiri lagi. Ayah, kembalilah. Lalu, ibu memberiku sepucuk surat padaku, iaberkata itu adalah tulisan adikmu dari pembicaraan ayah.
“selamat pagi, anakku. Kamu sehat kan ? aku ingin sekali meminta maaf padamu karena dulu aku telah menamparmu. Jujur, hal itu tak bisa terlupakan olehku selama ini. Tolong maafkan aku. Aku terlalu kesal waktu itu, penghisap rokok itu bagaikan nyawaku. Selamat kau telah mendapatkan wisudamu, aku bangga sekali padamu. Jaga ibu dan adikmu. Masalah berkas penjualan darah itu, kau jaga baik-baik, jangan sampai ibumu tau. Satu lagi anakku, betapa inginnya aku mendapat panggilan ayah darimu…aku ingin sekali menggantikan ayahmu..tapi mungkin itu tak mungkin…….semua orang tahu aku hanya ayah tirimu. Nak, harus kau tau betapa sayangnya aku padamu, betapa cintanya aku padamu. Selamat tinggal sayang…
dari :
Ayahmu…
Ayah, ayah, aku terus menangis meraung-raung membaca tulisan itu. Aku juga sayang sekali sama ayah. Ibu lantas memeluku, ia bercerita tentang penghisap rokok itu.
“Dulu ayahmu juga membenci rokok,penghisap itu milik ayahnya. Hubungan ibu dan ayahmu sudah lama, kami teman sepermainan. Tapi, hubungan ibu di tentang oleh kakek karena ayahmu terlalu miskin. Saat ayahmu melamar ibu, kakek memberikan mahar yang berat pada keluarga ayahmu. Lalu, demi melamar ibu ayahnya meminjam uang itu ke tempat tambang batu bara, naas kecelakaan merenggut nyawa ayahnya ayahmu dan meninggalkan sebuah penghisap rokok ayahmu itu. Lalu, ayahmu merantau untuk mencari uang mahar kakek. Akhirnya, ibu dipaksa menikah dengan ayah kandungmu. Ayahmu menunggu dan hidup sendirian selama 5 tahun dengan penghisap rokok itu. Waktu ayah kandungmu tiada, barulah ia berani menyunting ibu dan memutuskan tak memiliki anak lagi. Ia bertanggung jawab atas kamu dan adikmu.”
Mendengar cerita ibu, aku merinding sekali. Ku remas surat dari ayah itu dan melepaskan pelukan ibu. Ayah, ada dan tiada dirimu aku mencintaimu. Terimakasih ayahanda atas semua jasa yang kau berikan, inilah salam cinta dariku Anandamu…